Sebagai sekretaris istriku sering mendapatkan tugas lembur. Dan aku terpaksa menunggu di kantornya hingga pekerjaannya selesai.
Sore itu saat aku memasuki kantornya Pak Darno petugas Satpam bilang bahwa Bu Retno, istriku, masih bersama Pak Direktur. Waahh.. Kena lembur lagi nih. Jadi terpaksa aku duduk di ruang tunggunya sambil ngobrol sama Pak Darno.
Tak lama ngobrol Pak Darno minta maaf padaku, dia harus pulang lebih dahulu karena istrinya minta diantar ke dokter. Dia mengambil segepok majalah dan koran,
"Silahkan baca-baca Mas, biar nggak sepi". Pak Darno meninggalkan aku sendirian.
Sesudah hampir semua halaman majalah aku baca-baca, istriku belum juga nongol. Apakah pekerjaannya demikian penting sehingga mesti dilembur macam begini? Aku agak kesal karena bosan menunggu. Akhirnya aku iseng-iseng. Aku masuk ke ruangan kantor.
Lampu ruangan tidak lagi sepenuhnya menyala. Ngirit. Nampak sederetan meja kosong telah ditinggalkan para karyawan pulang. Aku tengok sana sini, kulihat ada ruangan kaca di pojok sana yang masih terang namun kacanya ditutup dengan 'blind curtain' gorden berlipat yang biasa dipakai di kantor. Mungkin disana istriku bekerja lembur. Pelan-pelan aku mendekat. Aku ingin melihat apa yang dikerjakan istriku. Aku bias mengintip dari celah 'blind curtain' itu.
Bagai kena palu godam 1000 kati saat aku menyaksikan apa yang bias kusaksikan. Aku melihat Jeng Retno istriku dalam keadaan telanjang sedang berjongkok dengan lututnya diselangkangan Pak Wijaya boss-nya yang bermata sipit itu. Rok dan blus berikut BH dan celana dalamnya nampak terserak di lantai. Jelas dia sedang sibuk mengulum kemaluan Pak Wijaya yang duduk telentang di sofa yang nampak begitu empuknya.
Tanpa melepas kemeja dan dasinya Pak Wijaya hanya merosotkan celana hingga merosot ke lantai, tangannya memegang kepala Jeng Retno menekan naik dan turun. Jeng Retno mengulum dan memompa kemaluan Pak Wijaya dengan mulutnya. Wajah Pak Wijaya dengan mata sipitnya nampak menyeringai merasakan nikmat tak terhingga dari bibir Jeng Retno. Samar-samar kudengar desahan nafsu Pak Wijaya dan suara-suara bibir istriku yang sedang penuh memompa kontol boss-nya itu.
Rupanya aku telah ditipu istriku sendiri. Aku yang dengan setia menjemput dan menunggu setiap sore tidak menduga bahwa justru istriku ini berbuat selingkuh dengan direkturnya. Aku meledak ingin marah, namun kutahan. Mungkin tidak ada gunanya. Sambil terus berusaha menenangkan diriku aku menyaksikan apa yang akan berlanjut dari yang kulihat sekarang ini.
Pak Wijaya menarik lengan istriku. Dia rangkul tubuh Jeng Retno untuk duduk di pangkuannya sedikit naik ke perut. Kontol Pak Wijaya yang telah mampu memberi semangat syahwat istriku tadi nampak putih bersih mencuat panjang dengan bonggolnya yang gede nongol di belakang pantat istriku. Dengan sangat keranjingan Pak Wijaya langsung melumati dada istriku. Menyusu bak bayi manja sambil tangannya merabai relung-relung tubuh sensual istriku. Aku melihat nikmat yang tak terhingga melanda istriku. Tubuhnya bergeliatan menahan gelinjangnya sambil tak putus-putusnya desah serta rintihannya mengalir dari mulutnya yang mungil itu.
Sesuatu yang muskil telah terjadi pada diriku. Hal yang semula sangat memukul aku kini justru membangkitkan hasratku. Aku dirangsang oleh gairah birahi saat menyaksikan bagaimana istriku begitu merasakan nikmat dilumati boss-nya. Aku menyaksikan betapa istriku dengan penuh semangat syahwatnya telah mengenyoti kontol Pak Wijaya. Kini kemaluanku terasa menegang dan sesak di celanaku. Dan akhirnya aku mesti menyaksikan pergulatan asyik masyuk antara istriku dengan boss-nya ini sambil meremasi kontolku sendiri.
"Ppaakk.. Rety nggak tahan ppaakk.." istriku menyambar bibir Pak Wijaya dan melumat-lumat habis-habisan.
Kemudian Pak Wijaya mengangkat sedikit tubuh istriku. Tangan kirinya meraih kontolnya dan diarahkannya ke memek Jeng Retno. Apa yang terjadi kemudian sangatlah mendebarkan jantungku. Aku melihat bagaimana kontol gede dan panjang milik Pak Wijaya itu menembusi memek Jeng Retno istriku yang sangat aku tahu betapa sempit lubangnya.
Berkali-kali kulihat yang satu menekan yang lain menjemput. Sesudah kontol Pak Wijaya hampir selalu meleset untuk diluruskan kembali, akhirnya dengan pelan kusaksikan kemaluan istriku menelan batangan gede panjang itu. Uucchh.. Bagaimana bisa..? Istriku menyeringai. Nampaknya dia mendapatkan rasa pedih sekaligus nikmat yang tak bertara.
Akhirnya seluruh batangan itu melesak tertelan menembusi vagina Jeng Retno. Mereka lantas diam sesaat. Hanya bibir-bibir mereka yang kembali terus berpagut. Itu mereka lakukan untuk meningkatkan hasrat birahinya. Kemudian secara hati-hati Pak Wijaya memulai dengan menaik turunkan pantatnya. Kudengar rintih Jeng Retno..
"Aduuhh.. Aduuhh.. Adduuhh.." Mengulang-ulang kata aduh setiap kali kontol Pak Wijaya ditarik dan menusuk.
Sesudah beberapa kali berlangsung kulihat tangan istriku bergerak berpegangan bahu boss-nya. Dia kini nampak akan mengambil alih gerakan. Dengan sekali lagi memagut bibir Pak Wijaya istriku mulai menggenjot dan mengenjot-enjot. Vaginanya nampak naik turun seakan menyedoti kontol gede boss-nya itu. Bibir vaginanya setiap kali nampak tertarik keluar masuk karena sesaknya bibir vaginanya menerima gedenya batang kontol Pak Wijaya.
Aku tak mampu lagi bertahan. Aku turunkan celanaku dan kukeluarkan kontolku sendiri. Tanpa ragu lagi aku melototi kontol dan memek istriku yang saling jemput itu. Aku mengocok-ocok kemaluanku sambil khayalanku terbang tinggi. Aku membayangkan betapa nikmatnya menciumi kontol yang sedang keluar masuk di liang vagina istriku Jeng Retno itu. Aku juga meracau pelan,
"Jeenng.. Boleh aku ciumi bibir vaginamu yang sesak oleh kontol Pak Wijaya yaa.. Boleh aku jilati pejuhnya yaa..". Khaayalanku ini sungguh merangsang hasrat syahwatku.
Genjotan istriku semakin cepat. Racau kedua insan yang asyik masyuk itu semakin riuh. Aku menyaksikan tubuh-tubuh mereka berkilat karena keringat yang mengucur. Dalam kamar AC yang dingin itu nafsu birahi mereka membakar tubuhnya. Rambut istriku semakin awut-awutan. Rambut itu menggelombang setiap tubuhnya naik turun menggenjoti kontol boss-nya.
Saat mereka mulai mendaki puncak, tak pelak lagi keduanya mempertingi polahnya. Pak Wijaya mempererat pelukan pinggul Jeng Retno danm bibir Jeng Retno melumat penuh gereget bibir Pak Wijaya. Keadaan menjadi semacam 'chaos'. Liar dan tak terkendali.
Cakar dan kuku istriku menghunjam pada kemeja Pak Wijaya sementara bibir dengan cepat mematuk bahu Jeng Retno. Mataku konsentrasi melotot ke arah kontol yang keluar masuk ke vagina itu. Dan saat kecepatan genjotan naik turun tak lagi terhitung samar-samar aku melihat cairan putih mencotot meleleh dan berbusa di batangan kontol Pak Wijaya. Itulah klimaks. Istriku masih menggenjot sesaat hingga yakin bahwa seluruh cadangan sperma Pak Wijaya telah tumpah memenuhi lubang vaginanya. Dan kemudian hening. Istriku menyandarkan kepalanya di dada Pak Wijaya. Nafas panjang keduanya nampak dari dada-dada mereka yang setiap kali menggembung kemudian kempis.
Istriku merosot ke lantai dalam kelelahan yang sangat. Demikian pula Pak Wijaya. Bermenit-menit keadaan itu berlalu.
Akan halnya aku, ejakulasi pertama langsung kudapatkan saat menyaksikan genjotan istriku semakin cepat tadi. Namun dengan cepat aku kembali terangsang. Saat aku menyaksikan betapa kontol Pak Wijaya lepas dari lubang, nampak dari memek istriku meleleh cairan pekat dan kental. Sperma Pak Wijaya itu yang membuat aku berhasrat lagi untuk melakukan masturbasi.
Sambil aku melototi bibir vagina Jeng Retno yang begitu belepotan khayalku kembali terbang. Bibirku mendekat ke bibir vagina Jeng Retno. Sperma kental yang demikian menutupi wajah vaginanya kujilati hinga bersih. Aku menikmati betapa sperma boss istriku ini sunguh nikmatnya. Aku terus menjilati hingga kurasakan saraf-saraf peka kontolku menegang. Aku kembali mendapatkan ejakulasiku. Aku terjatuh lemas.
Kudengar kursi di ruangan Pak Wijaya berderit. Aku harus cepat keluar ruangan ini. Kusaksikan istriku bersama boss-nya menuju toilet yang ada di ruangannya. Aku membetulkan celanaku dan bergegas keluar.
Tanpa ada masalah dengan berboncengan sepeda motorku kami sampai di tempat kost jam 8 malam. Seperti biasa Jeng Retno menyiapkan nasi dan lauk pauknya untuk makan malam itu.
Aku masih melotot hingga jam 12 di depan TV sementara itu istriku nampak pulas tertidur. Aku memakluminya.
@
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten